Keterlibatan
swasta dalam pembibitan ayam kampung skala besar sudah menjadi tuntutan.
Sandungan Perpres masih mengundang pertanyaan
Di
atas lahan seluas 1,2 hektar di Kampung Bepak, Desa Tangkil, Kecamatan
Caringin, Sukabumi itu berdiri kompleks peternakan pembibitan dengan 10 kandang
battery yang dipenuhi tak kurang 17 ribu ayam kampung, dan sekitar 5 %
diantaranya pejantan. Sebagai produsen DOC (anak ayam umur sehari) kompleks
dilengkapi dengan hatchery (kamar penetasan) berkapasitas mesin 115.200
butir dan daya tetas 80 – 85 %.
Ayam-ayam
indukan di kandang-kandang tersebut adalah hasil seleksi panjang yang dilakukan
Kelompok Unggul Pusat Perbibitan Ayam Kampung (KUPPAK). Menurut penjelasan
Sigit Widodo, Ketua KUPPAK, bersama Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi,
Bogor pihaknya melakukan riset sejak 2005. Dan produksi massal sebagai produsen
DOC atau breeding untuk diperdagangkan terhitung mulai 2010.
Seleksi
dilakukan dari ayam-ayam kampung unggul, antara lain ayam pelung, kedu, sentul
dan terakhir gauk dari Madura. Belasan ribu ayam generasi ke-3 hasil seleksi
itu kemudian ditahbiskan sebagai indukan (Parent Stock/PS) yang
memproduksi telur tetas. Hasilnya, berupa DOC final stock yang dilepas
ke peternak untuk dibesarkan sebagai pedaging.
Usaha
pembibitan ayam kampung yang dikelola Sigit ini merupakan usaha dia dengan
status kepemilikan bersama rekannya Tutum Rananta dan Kepraks (Kelompok
Peternak Ayam Kampung Sukabumi). Ia mengaku, saat ini mampu menghasilkan 140
ribu DOC setiap bulannya atau 35 ribu per pekan. Angka ini masih jauh di bawah
permintaan yang masuk. “Tiap bulan, permintaan yang datang mencapai 250 ribu
DOC,” sebut Sigit.
Akhir
tahun ini ia menargetkan peningkatan kapasitas produksi menjadi 200 ribu ekor
DOC per bulan. Konsekuensinya, induk akan didongkrak menjadi 24 ribu ekor dan
1.200 ekor diantaranya adalah pejantan.
Selain
itu, ia menargetkan, akhir tahun ini produksi DOC ayam sentul mencapai rasio 50
% dari total produksi, dan pertengahan 2013 produksinya 100 % DOC ayam sentul.
Ia menjelaskan, saat ini produk yang dijual utamanya DOC ayam kampung biasa dan
sebagian DOC ayam sentul. Terdapat 2 macam DOC ayam sentul yang dipasarkan,
yaitu kombinasi warna abu – abu dan merah; serta kombinasi warna abu – abu dan
putih.
Berburu
Calon Induk
Jauh sebelum pembibitan yang dikelola Sigit berdiri, “Jimmy Farm” yang berlokasi di Cipanas Puncak, Bogor sudah dikenal luas peternak ayam kampung sebagai pemasok DOC. Dan diakui sebagai pionir produsen DOC ayam kampung berskala besar.
Jauh sebelum pembibitan yang dikelola Sigit berdiri, “Jimmy Farm” yang berlokasi di Cipanas Puncak, Bogor sudah dikenal luas peternak ayam kampung sebagai pemasok DOC. Dan diakui sebagai pionir produsen DOC ayam kampung berskala besar.
Menurut
keterangan Benny Arifin, pemilik Jimmy Farm pihaknya mulai terjun di
ayam kampung sejak 1998. Sebelumnya ia adalah pembibit DOC broiler yang
gulung tikar karena dihantam badai krismon kala itu. Infrastruktur yang ada
kemudian dikembangkan untuk memproduksi DOC ayam kampung.
Tetapi
tak hanya jadi pemain di pembibitan, “Jimmy Farm” juga mengembangkan
pembesaran. Disebut Yohan Kurniawan ManajerJimmy Farm, populasi indukan
terkini adalah 14 ribu. “Total seluruh populasi 36 ribu termasuk pejantan, DOC
dan pembesaran,” ujarnya. Dan produksi DOC di kisaran 18 ribu – 20 ribu ekor
per pekan.
Menurut
Benny, breeding ayam kampung tidak bisa satu jenis, mau tidak mau harus
kawin silang agar tidak inbreeding. “Sumber ayam kampung bisa dari
daerah Jawa, Sumatera atau Kalimantan,” sebutnya. Ia mensyaratkan pengusaha breeding
harus tahu jenis dan kualitas ayam kampung calon bibitnya. Ia pun berburu
ke daerah asal dan langsung ke peternak lokal. Benny tak mempersoalkan
kemurnian ayam yang dicarinya. “Yang penting ayam kampung,” ucapnya. Kualitas
ia mampu menilai dengan melihat fisiknya. Misalnya, bentuk dada V tidak U
seperti broiler dan warna khas ayam kampung. Berbagai strain dari
ayam kampung itu lah yang kemudian ia kawinkan silang.
Benny pun
mengakui selain persoalan sulitnya mendapatkan bibit, usaha breeding skala
besar menurut dia banyak tantangannya. Risiko tinggi, tidak bisa menyepelekan
kualitas karena pertaruhannya terlalu besar, dan pasti perputaran bisnisnya (return
of investment/ROI) tak secepat di segmen pembesaran.
Selengkapnya
baca di majalah Trobos edisi Juni 2012
Sumber:www.trobos.com
Comments :
0 komentar to “Ayam Kampung Pun Dilirik Industri”
Posting Komentar